Pada kenangan Kla
Saat jiwa rebah di sini, imaji melayang ke jogja
Di apik dan ramahnya malam
Gempita romansa menawar sepi Selaksa terbang mencari cinta b
Pada ingatan Kla
nostalgia masa silam mengiring langkah masa depan
Pada kenangan Kla
Saat jiwa rebah di sini, imaji melayang ke jogja
Di apik dan ramahnya malam
Gempita romansa menawar sepi Selaksa terbang mencari cinta b
Pada ingatan Kla
nostalgia masa silam mengiring langkah masa depan
Lelaki kosong di tepi trotoar Matanya hampa menatap kosong Pikirannya melayang mencari yang tak pernah diraih
Semangatnya habis meski baru sore
Arangnya patah termakan rencana besar dunia
Ia duduk...tertunduk
Mengumpulkan keberanian, atau kesadaran
Menyesali kehadirannya di dunia Impian begitu jauh di dalam sana
Tangannya tak lagi mampu menjangkau
Paling hanya imajinasi tinggal sekepal
Berharap teman juga percuma
Lekaki di pinggir trotoar
Mempertanyakan nasib beranjak ragu untuk berani menyalahkan Tuhan Maghrib mengingatkan
Tuhan bukan gratisan
Butuh peluh untuk
Perlu tangis untuk
Bila perlu, nadir menjadi pinta Kesegeraan hidup untuk berjumpa denganNya, kebahagiaan pamungkas
Udik, bukan kota
Tapi lugu, bukan sengaja
Sederhana tanpa gempita
penari yang bersolek di depan tamu
jabat tangan sungging senyum sungguh
kerupuk yang disimpan di bawah meja kudapan
hingga pelayan bercelana pendek dengan kaos sisa keringat subuh
senangnya bukan main
candanya tak ada akhir
obrolan membumbung langit-langit
rumah kawin di udik Tangerang
orang datang dan pulang,
lain tubuh berganti kenang
namun jiwa suka yang sama bertemu pandang
Aku cemburu pada tirai air kala gerimis di pegunungan
Dinginnya mencumbu tubuhku
Gemericik pancuran melipur senyap rindu
Dan kabut tipis mencipta mistik senja
Air yang jatuh ke pelimbahan bermakna karunia
Tapi kecemburuan adalah kebencian
Gerimis November adalah ratap tahunan
Aku jongkok dan menopang dagu memandangi Pasanggrahan
orang tua dengan penyakit
masih bekerja,
menjaja kue
dan nestapa
sedang banyak orang dan aku
tidak peduli sambil santap mie
Teman berujar melalui sikapnya,
"Kebenaran tidak perlu lagi.
Aku kalah, kehilangan, malah jadi pecundang saat kebenaran erat kugenggam.
Aku sendiri, di pojok, meringkuk dingin dan telanjang.
Adakah malah kekeliruan yang kupertahankan? Untuk apa kebenaran, bila absurditas adalah kenyataan?
Tak perlu lagi kebenaran tentang kebenaran.
Rasanya seperti aku harus menjual diriku agar manfaat menjelma menjadi nafasku.
Berperan dalam sandiwara peradaban. Drama naluri dimana para subjek tunduk dan mengenyam kebanggaan baru: budak jaman.
Ah...tapi tidak. Tidak!
Kesepian, kedinginan ini dan keterasingan adalah kesemuan hasil rekayasa
nilai para hegemonis. Dan kita hidup di antara mereka. Kawan, aku adalah aku.
Silahkan mereka berpora dalam pencapaian-pencapaian.
Kebenaran memang kemewahan yang lain.
Yang lain yang tak berangka. Yang bukan komoditas maupun superfisial.
Kenikmatannya mengandai kemurnian perjuangan.
Hidup terlalu liar untuk dikandangkan oportunitas dan menghamba gemerlap kepemilikan.
Dan keliaran tidak malu pada pilihan.
Kebebasan jadi wujudnya,
kemerdekaan adalah jiwanya, dan kejujuran kreasi itu buah rahimnya.
Kebenaran akan kebenaran adalah kesejatian yang memerdekakanmu.
Dirgahayu RI ke-67, tapi bukan pemerintahku!"
Ragaku mengharapmu
Serupa godot, meski kepastian lembut menepisku
Kembara jiwa menyelinap relung syahdu
Aku meraba kehadiranmu
Kau yang lepas di sana
Rindu tertatih membangun jiwa
Rangkuman hasrat
Liar menggeliat
Langkah menguat
Dan aku berlari
Tegap membara hingga mengepak sayapku
Pelangi sampaiku
Di baliknya kita beradu
Perjumpaan akhir lalu
Adalah kesenantiasaan dahaga ragu
Kesumat untuk kembali menyatu
tanpa nama
menyapa, membantu, tak beri harga
dan...masih ada
gelap menutup mata
hati kecil tidur lelap
lelah sehari diganjar pulas
gerimis tengah malam
dan aku mendekapnya
mungilnya bergelora pada nafas
malam gelap gerimis
menanti surya dan mengharap pagi
Semua
berkumpul
langkah tegap
bahasa tegas dan lugas
mantap dan sigap
turut serta
mempersembahkan
bersyukur
dalam nama Tuhan
terpujilah Engkau di surga
setiap orang
ingin unik
mau asyik
makin terlihat
urat pun aurat
berlomba
mematahkan kejayaan
yang penuh kilap,
tidak peduli dan melangkah cepat
yang melarat,
curi pandang dan lelah menatap
saat kita berlari liar
menerabas jalan
melompat pada kokohnya pagar
petualangan kita melampaui urban
sampai merasuk ke dalam hutan
mencari arti hidup di rimba pegunungan
hingga kita dewasa
sejarah persahabatan dan kekinian
siap diingat untuk menyadarkan
pertarungan hidup sungguh melelahkan
semula kita kira permainan
kini pergulatan menuntut kesingguhan
kita tak pernah berhenti
menjelajah dan berlari
sampai mati
Siang
Padat antrian
Kendaraan dan asongan
Malam
Terang bintang
Dimakan pijar berpendaran
Langsung saja hujan
Kita semua terperanjat
Janji-janji terbenam
Kangen meluap kenangan
Tiket-tiket menunggu pengumuman
Maskapai khawatir penanggungan
Hingga malam
Bintang absen bertaburan
Anak manusia menyiasati keadaan
Melayangkan imajinasi, menggubah kata, mensyukuri hujan.
Anakku sakit wajahnya meringis
Menangis
Yang kuheran
Pada demamnya
Di luar dari suhu tubuhnya
Wajahnya merah merona
Malah cantik
Bulan terpental olehnya
Pada lekuk mungilnya
Bidadari malamku menyempatkan pesan
Aku akan kuat
Aku mau sehat
Bulan malam ini
Malu dan tersipu
Akhirnya tersapu
Oleh kelam awan dan angin
Bulan malam ini
Tidak penuh seperti malu
Hanya 3/4 serba tanggung
Dinikmati tampak canggung
Aku malam ini
Hanya mau mencemoohmu
Indahmu hanya kala purnama
Layaknya manusia
Bulan pun retak
Hujan di Serpong
Tiba-tiba
Orang berlarian
Segera
Air berlimpahan
Yang kita khawatirkan
Adalah yg kita butuhkan
Kami berdua
Kiri dan kanan
Cium dan berpelukan
Kami berdua
Ujung kiri dan ujung kanan
Lempar umpatan
Bagaimanapun
Kami berdua
Menggenggam dalam kasmaran
Berpegang di derunya pertengkaran
Habis manis tetap disimpan
Tak ada uang berupaya sadar dan tetap sayang
Saat amarah membara
Logika tak bersua rasa
Kerap kata hanya suara belaka
Dan jangkrik pengisi sela
Malam ini aku merasa lebih akrab dengan jangkrik
Ketimbang mendengar inkonsistensi berisik
Telingaku kupenuhi dengan sahabat alam
Dan maaf, mulutmu tak bermakna untuk ini malam
Selepas waktu, seraya tersenyum
Habis sudah kewajiban harian
Langkah dan simpul di kulum
Wajah ria wajah pulang
Hari ini bukan terakhir
Esok kan bergulir cerita
Kalau saja ini takdir
Tentulah Sang Pujangga berencana
Wajah jenuh mengayuh
Hidup mesti berlanjut dengan niat terkepal penuh
Lepas penat mingguan
Songsong apa di depan
Laju kendaraan roda
Asapnya membumbung membawa doa
Jangan kau kecewakan hidupmu
Kota ini bukanlah penghujung waktu
Gemetar anakku berdiri di kawat pintu
Gelegar halilintar menyambar tepian kalbu
Sekejap dada berdegup
Jerit kecilnya bersaing di arena waktu
Dan gerimis meresmikan keterperanjatannya
Hujan di minggu siang
Panas sepekan berujung segar air siraman
Theme designed by TemplatePanic: Free Blog Templates, supported by Real Estate Blog