11 Juli 2008

Mentari di balik Mega Peralihan



Di atas sana, hitam dan kelabu tampak gradasi. Putihnya berangsur menegas oleh jasa mentari pagi. Yang unik adalah ruang sini dan sana dari horizon kelabu pagi hari. Semula aku tak peduli. Aku terlalu ‘konsen’ dengan speedometer motor ku. Membalap angkot dan rival motor di Wijaya setidaknya mampu membuat rutinitas jalur kerja menjadi ajang mini-racing yang menggetarkan adrenalin agar tak termakan kantuk.
Tapi semburat jingga di peralihan gelap-terang cukup menarik kerlingan mata. Sinarnya menembus kaca bening helmku. Bila tak ada aral melintang aku akan terbang menuju batas-batas mega hingga ketemukan kejujuran mentari. Namun sayang. Tujuan kerja sudah menjadi komitmen sedari rumah tadi. Jadi perjalanan ini memang hendak menuju Simatupang. Selingan tari cahaya dari bias kaca helm cukuplah hiburan sela dalam tarikan gas. Benarlah, sinarnya membuatku kagum dan tersenyum. Ya, bila tak ada aral melintang, saat wafatku, engkau yang hendak kutemui lebih dahulu. Kejujuran mentari pagi di balik mega peralihan.