23 Desember 2008

Sebelum Pergi

Aku merasa rohku masih melekat di sini

Ia meronta ketika kutarik

Aku malah mati rasa oleh harapan

Ia terlanjur erat dengan keindahan

 

Eloknya rumit dan rutinitas

Segala resah tak berbatas

Juga kerap serapah yang pedas

 

Di perbatasan hari

Hari ini adalah terakhir sebelum aku pergi

Hari ini ujung waktu karya bergaji

 

Esok sudah libur

 

Tak seperti banyak orang

Liburan kali ini terasa lengang di hati

 

Ada urusan yang tak sekedar senang

Tapi kedewasaan

Menyerahkan kebebasan untuk sebuah langkah baru kehidupan

 

Waktu di hadapan seperti menunggu di muka diri

Ia berdiri, menanti untuk dimaknai

19 Desember 2008

pelangi, siapa yang tidak hendak menulis tentangnya?

Yup, munculnya jarang

Eksistensinya pun hanya sekenang

Sebentar lagi hilang

Apalagi setelah adzan kumandang

 

Tapi ketiba-tibaannya kerap menyebar pesona

Kata orang di sana bidadari bersimbah rupa

Paras cantik sekilas imajinasi di kepala

Air hujan ini tentunya ada berkah

 

Sore yang semula sumpah serapah

Kini, usai mejikuhibiniu, menjadi cerah

Mentari juga pulang dengan sumringah

di hadapan jamban

Walaupun pejabat

Walaupun konglomerat

Bahkan sekalian koruptor

Lebih-lebih rakyat biasa

Orang miskin

Tukang becak

Pengemis

Sekalian semua orang di dunia

 

Kalau sudah hajat itu menatap liang

Dan tekanan sudah terhembus menuju lubang

Pantat segala orang

Dalam hal ini kita semua senang

 

Buang air adalah segenap kelegaan

Tak ada yang larang

Kita ternyata setara di hadapan jamban

Kujamin ini juga disadari Tuhan

Bahkan agama tak jadi soal

Apalagi ras

 

Kita semua sama di hadapan jamban

Kelegaan usai mengejan

15 Desember 2008

Mimpi

Adalah awan

Mengangkasa

 

Siapa hendak meraih?

Mesti turut terbang

 

Kala hendak menjadi

Tak hindari friksi

 

Kala sudah menjadi

Aku harus tidur agar bermimpi

 

Supaya…

Mimpi membakar hidup dan hidup menuai mimpi

 

 

 

Catatan kecil di 25032004

12 Desember 2008

Satu untuk Yang Lebih Manusiawi

“ I’m broke but I’m happy

   I’m poor, but I’m kind”

 

Alanis had said that,

and we just knew that

recently, since the local doom had hit us

mechanism, hypocrites, and those who hold the capitals

 

we just lost our space

time were stolen without trace

 

but not our rights

nor our  consciences

 

open your mind

don’t let it blind

happiness and kindness were built, found, not given

never wait, or even begging the destiny for having ourselves put into one of them! 

 

We still have faith in the One

and a great free will for the reason one

then there is only a word for one

Wiji Tukul said it already, “Lawan!”

11 Desember 2008

jakarta masih hijau

Kalo ada pendapat bahwa Jakarta sudah miskin oksigen, hmm nanti dulu. Barusan aku melihat dari ketinggian. Meskipun hanya di sebelah selatan, tapi hijaunya kota ini masih ada. Pohon-pohon menjulang tinggi. Beberapa terawatt, sebagian berupa liar namun tetap memiliki makna fungsi, penghijauan dan pe-oksigen-an.

Aku baru sadar tatkala reguk air putih sudah sampai di dahaga. Sebelumnya mutiara runtuhan air sudah membersihkan pandangan. Dan seluas mata memandang, selatan kota ini masih berserak hijau. Seperti kelir yang digores sembarang. Dan kini menyejuk pandang.

Aku hirup udara sore ini. hmmmmmmm

10 Desember 2008

Gugusan Punuk di Selatan Jakarta

Mungkin aku yang terlalu mencintai gundukan itu. Julang tinggi, kembar serupa payudara kerap menjadi motivator pada 80Km/jam di pagi hari. Di selatan, bukan di barat-timur, apalagi utara laut. Tentu,pegunungan itu di selatan dan kota ini seperti berbenteng justru dari sisi dalamnya. Mereka duduk anteng melihat dan dilihat dari kejauhan. Penglihatan akan mereka penanda bahwa udara bersih masih bisa hadir di kota ini. Sayat dan corak warna biru berkuning emas menjadi gairah tersendiri ketika hutan beton memang tak berciri seni apapun. Kehadiran Gede-Pangrango di eloknya pagi seperti Godzilla jinak yang tersenyum tanpa ancaman taring.

Aku sendiri, di jok motor. Menanti  hitungan detik merah yang segera hijau. Pada kilas detik itu aku menghentikan waktu. Waktu subjektif tentunya, karena pada jam ini semakin banyak orang sudah sadar dan berlari. Bila kehendak ini kupaksakan pada semua orang, malah jadi lucu. Siapa pula mau peduli pada lukisan pagi hari bila anak belum sampai sekolah, bila koran masih segepok di lengan, juga bila tenggat kantor tidak akan menerima toleransi? Tapi aku peduli bahkan menikmati. Setidaknya detik-detik berharga ini tidak kuanggap kosong dengan bengong menunggu pergantian lampu.

Tiga detik berlalu dan aku masih duduk di atas motorku. Persneling kubuat netral. Lenganku dan jemari bisa istirahat sejenak. Dada kubusungkan dan kaca helm kubuka serupa jendela rumah. Aku tidak begitu peduli dengan gerah jaket serta rompi motor. Bila dua punuk itu sudah tersibak dari awan putih, maka tak sedikitpun waktu kusisakan meski hanya untuk berjejal di sela longgar ruang antar kendaraan. Yang penting posisiku sudah pas untuk menatap dan mengagumi senyuman pagi. Harapan baru. Karena usai merah ini tak akan lagi kudapat pengalaman identik.

Detik ke sepuluh sudah bergulir, masuk ke perpuluhan berikutnya. Aku mejadi teringat kisah-kisah pendakian gunungku. Terutama dua gunung ini. Yang satu lebih tinggi dari yang lain, itu cirinya. Yang satu berkawah berbeda dari tetangganya yang cukup meruncing, standar gambar anak-anak di orde baru. Bisa jadi, jaman itu, ketika knalpot belum merajalela, juga pohon semen tidak setinggi sekarang, anak-anak masih mungkin melihat kakak-beradik ini dari kejauhan ujung-ujung Jakarta. Bisa jadi bahkan sampai dari utara sekalipun. Bukankah peta jaman Belanda VOC dahulu kerap disematkan gunung pada orientasi selatannya? Dan saat itu yang disebut kota adalah wilayah pesisir Jakarta sampai pada kira-kira Istana Negara sekarang. Bila aku hidup di jaman itu tentunya aku akan lebih terkagum-kagum dan menunggu-nunggu pagi. Malahan aku tak akan menyesal bahwa kau lelapku sudah sampai penghabisan waktu dan mesti kembali bekerja. Tentunya dengan sambutan hangat Gede-Pangrango.

Yahhhh, detik terakhir. Penglihatanku dikagetkan oleh gerak turun cahaya dari kotak hitam berdebu itu. Merah berganti sekejap menjadi kuning. Langsung kutarik koplingku, dan hijau. Selamat tinggal. Besok, semoga secerah ini dan lebih indah lagi.

09 Desember 2008

Hari Senin Yang Libur

Tapi hari ini bukan berarti santai. Terutama di lapangan. Ya di tanah lapang. Kebanyakan orang sudah berkumpul di sana. Berbincang, jajan, bercanda, sampai melamun. Sedikit bapak, banyak ibu, perempuan, dan dilengkapi riuh rendah anak-anak.

Semua masuk dan menenggelamkan diri pada penantian. Sedang yang dinanti tengah  digarap oleh sisa himpunan orang menunggu itu. Mereka adalah harapan. Para penjagal suci. Atas kesukaan dan kerelaan. Sungguh orang-orang ini memang menyukai suasana kebersamaan, dan terlebih sifat berbagi , kerelaan, yang bisa mereka aktualisasikan menggenapi senin libur ini. Pahala bukan hanya dibagi untuk para penyumbang, tetapi mereka yang turut andil walau hanya sesayat.

Mata sapi di atas kepala dan beranjak turun selepas adzan. Suasana makin panas. Derap kaki menjadi –jadi. Hati merambat gelisah. Antrian sudah meruncing oleh simpul pertanyaan yang volumenya sudah menohok dagu para penjagal,”Udah selesai belom? Kapan nih Bang!!!????” 

Selokan kampung, saluran air, hingga gorong-gorong kota drastis merah. Bak sepuan yang ditabur sengaja oleh bocah, darah segar itu menghiasi hitam pekat sungai yang setahun sekali berkesempatan berganti warna. Tentunya ini bukan sebuah tulah, mengingat hari ini adalah momen berkah, bagi siapa saja.

Akhirnya, kantung sudah terisi. Plastik hitam telah rata padat termuat. Sedapat mungkin perkiraan subjektif dalam tempo singkat mesti diberdayakan guna mengeksekusi keadilan distributif untuk semua hadirin. Aku memandang, aku melihat dan menyaksikan. Tontonan ini selagi melepas lapar seharian. Di pojok tanah terbuka itu, di depan mesjid berposisi hook, aku mendengar gemuruh hadirin menyambut suara kresek dan feed back mikrofon yang baru ditancap ujung kabelnya ke kubus speaker mesjid. Suara yang lazim dianggap gangguan system suara kini, siang ini, menjadi penanda harapan dan kepastian. Sejurus bapak berpeci dengan kumis wibawa, sepertinya ia adalah korlap laskar jagal siang ini, memberi arahan bagi hadirin terhormat, para hamba Allah. Mereka diharap berbaris rapi, tidak perlu berdesakan, dan tentunya kalimat penyegar,” tenang, semua sudah dibagi agar semua kebagian.” Kalimat itu seperti lontaran verbal di telinga yang langsung terasa teh manis dingin di tenggorokan.   

Maka mulailah kantong-kantong kurban dijejerkan. Semua sekilas sama padat dan besarnya. Gundukan daging segar itu sejenak memenuhi keraguan hadirin akan sama rata-sama rasa pembagian. Barisan sigap bergabung menjadi satu manusia penadah. Manusia gemuk atas kumpulan individu yang siap diintruksikan guna menengadah tangan, alhamdulilah, kemudian melangkah ringan dengan daging dijinijing.

Tapi barisan tidak cukup atas orang yang berkumpul sejak pagi. Semenjak mikrofon itu bergema, puluhan ibu-ibu,perempuan, sesekali bapak dan anak (mengapa lebih banyak para kaum menyusui?) berlari kecil, melangkah panjang, menambah antrian yang kian berserak di luar naungan tenda mini hijau itu. Seraya menunduk mereka sesekali berlari dan menyelingi dengan langkah panjang.

 Lucu. Seolah mereka malu atas langkah terburu mereka. Mungkin mereka sendiri bertanya dalam hati,”Kok saya lari ya, kenapa?” Apakah karena jatah daging? Mereka sendiri sebenarnya juga tahu, sapi  dan kambing segitu tidak akan cukup untuk orang sekampung, apalagi semakin lebih banyak orang yang beraji mumpung. Tapi sorak kejauhan yang terdengar sedari ujung gang membangkitkan riang di dada yang menyulap langkah menjadi begitu ringan dan malu bukan lagi pertimbangan penting.

Dapat atau tidak dapat, yang penting masing-masing dari mereka  sudah memberi kepastian bagi diri akan kemungkinan memperoleh sekerat daging atas pemenuhan prosedur sederhana, antri seharian. Mungkin qurban, bagi mereka yang belum mampu  “berkurban (baca:menyumbang)”,  adalah dengan berperan sebagai sisi sebaliknya, yaitu pihak pasif yang sebenarnya diperlukan proaktif menjemput bola, daging sapi potongan bapak penjagal suci. Ya proaktif menunggu dan antri tertib dengan pengurbanan lelah seharian, penat di kepala dan pegal di kaki. Bisa jadi, siapa yang tahu motif jelas mereka?

Dan senyum dipanen. Tangan-tangan bermuatan sekarang. Lari-lari berubah menjadi langkah santai usai buruan di tangan. Pembicaraan berganti topik, pengalaman mengantri, rebutan sedekah, serta kepuasan hasil perolehan. Manusia-manusia itu kini menjadi diri mereka kembali , sendiri-sendiri, setelah kepentingan mereka terpenuhi. Tak lagi ragu, tak perlu lagi menunggu, jika kerat daging tidak lagi jadi penantian. Pikiran pun berubah pada bayangan bumbu, racikan cabai, bawang, dan kecap, serta tusukan bamboo yang dijereng di atas bara api. Nikmat itu tinggal menunggu waktu eksekusi. Sore ini!

Untuk mereka yang telat pencapaian pastilah pulang dengan hampa. Sehampa darah merah serupa sepuan yang menggerayangi hitam got, selokan, sampai kali. Sedih mereka seperti buangan kertas kupon yang ditanggalkan fungsinya setelah bertukar bungkus iga. Mereka kecewa meskipun mereka sudah tahu bahwa mereka akan menuai itu sejak langkah telat yang dipaksakan dari ujung gang.

Tapi toh kecewa mereka bukan kategori gagal. Ini bukan urusan prestasi, tapi cukup pada keadilan jatah. Pemerataan persisnya. Jatah 300 bungkus berarti untuk 300 orang pertama. Jadinya gagal bukanlah kosa kata tepat untuk hari ini. Lebih dari itu ada hal yang segera menghapus dan menegasikan kesedihan siang ini. Yaitu, qurban pada cakrawala keterbatasan manusia, yaitu berbagi. Boleh saja secara teologis kita maknai kurban sebagai persembahan. Namun bagi mereka yang, sekali lagi, belum mampu “berkurban (baca: menyumbang)”, dan terlebih mereka yang masuk kategori paling minor oleh karena tangan kosong menyambut habisnya gundukan jatah daging, qurban masih menyisakan ruang makna. Secara horizontal, qurban itu menjadi kata kerja simbiosis antara mereka yang berlebih dan yang tak punya. Bahkan di antara sesame tak punya, siang ini qurban menjadi makna bersama antara siapa yang mendapat dan yang tak kebagian.

Boleh dikatakan terik tidak melengkapi kesedihan tangan hampa, tapi menjadi penanda waktu menuju sore. Miringnya matahari semakin menegaskan harapan sore. Kerat daging dijejer. Pisau-pisau gesit memotong. Tangan-tangan cekatan segera memperlakukan daging secara kasar. Menusuk, mengiris, dan memanggangnya. Tapi hati penuh cinta yang mendasarinya. Cinta berbagi di sore ini. Pemupus kecewa siang.

Senin yang libur ini terasa adem juga oleh cinta berbagi, meskipun dibuka dengan pembantaian masal dan gumam gemuruh resah antri penantian. 

Malamnya, di berita, di Jawa Timur, di halaman kantor pengadilan, orang sampai menginjak dan terinjak demi kerat daging di plastic hitam itu. Untuk bagian ini aku tak meyimpulkan sesuatu.

 

 

05 Desember 2008

koma itu kuperlukan


Berlariiiiiii terus

Lembar-lembar setiap hari

Dan punggung kian nyeri

 

Muak kerap tak terhembus

Bila garis waktu sudah mengelilingi

Rentang tangan liar siap menghabisi

 

Aku ditikam hingga mampus

Sampai habis nafas puisi

Bahkan sekalian imajinasi

 

Pada koma ini, benar kusempatkan

Setelah hampir seminggu tertahan

 

Ribaan kalam yang merangkul jiwa

Sesak di dada terasa dekapan mesra

 

 

01 Desember 2008

Aku hanya tak ingin menulis hari ini

Aku hanya tak ingin menulis hari ini

Seribu satu alasan bisa saja kunyatakan,

dan aku juga bisa mengajak awan mendung itu sebagai cakap dalihku

 

hari ini memang seperti tidak siap kujelang

cerahnya pagi serasa ejekan

senyum sapa juga kubalas sepi tatapan

 

andai saja negeri antah berantah itu ada,

dan sekiranya tempat itu di luar wilayah kenyataan ini,

aku sunguh berhasrat melangkah ke sana

 

aku ingin lari,

aku ingin bernyanyi,

sepi di hati tak jadi ilusi

 

keberanian kadang digali dari tempat pengungsi

28 November 2008

Fajar Sore

Baru saja hujan berhenti. Alam seperti lelah dan kalah. Yang tersisa tinggal genangan dan suasana diam, meski untuk sejenak. Mungkin orang-orang kaget akan ketiba-tibaan ini. Yang semula deras kini telas. Pohon-pohon diam. Tak lagi berirama seperti angin kencang satu jam tadi.

Yang muncul adalah fajar sore. Iya fajar sore, dan aku tak main-main. Boleh saja ini senja, namun daya pancarnya seindah dan seharap ufuk subuh. Sore yang menjelang malam ini justru layaknya harapan yang merekah di pagi hari.

Aku langsung bergegas ke selatan. Benar. Gede-Pangrango bersolek ria oleh sepuhan fajar sore. Puncak-puncaknya membumbung dihiasi anting-anting awan. Putih menawan. Aku seperti berada di kakinya. Tak tahan tuk segera menapak.

Sore yang semula guyuran kini masih tetap begitu. Hanya memang materinya yang berubah. Tak apa. Aku senang.

Rintik gerimis itu mengandung anak romantis. Kini ia lahir dan menangis. Tapi bukan air mata, melainkan  cahaya.

Semburat jingga yang memendarkan riang di dada. Siapapun akan dibuat bahagia. Aku percaya.

Menunggu rintik berhenti

Sudah sore dan saatnya pulang

Waktunya berbenah dan menghela napas panjang

 

Semangat terkumpul tak kubuang

Mengingat esok sudah akhir pekan

 

Hujan sudah turun mendahului

Gegap gembira beralih sepi

Gerimis ini harus kuratapi

 

 

27 November 2008

Cerah

Ada yang tidak biasa pada satu hari ini, di bulan ini

Cerah dengan biru langit dan serakan awan ketika pagi

absen mendung ternyata cepat ditangkap oleh mentari

ia tak menyia-nyiakan ruang kosong yang sepi

 

gerimis awet tadi malam rupanya sebuah tangis perpisahan

agak lucu memahaminya

alam yang saling bertolak belakang namun berhubungan

seperti keajaiban

 

26 November 2008

Love just (sometimes) ain't enough!

My dear,

Please tell me:

Whether love is not enough, or man should learn eagerly to definite his own “satisfaction”?

 

Sayangku,

Apakah memang Cinta yang (terkadang) memang tidak cukup,

atau kita sendiri manusia yang memang mesti benar-benar belajar untuk mendefinisikan “puas” bagi diri kita?

 

 

25 November 2008

Pada sandaranku

Siang dan terus benderang

Ku harap tidak hujan

Semoga juga ku tak tertipu mendung awan

 

Ada yang hilang di mega-mega peralihan

Bayang-bayang, kicauan, juga tatapan

Sampai pada kesudahan

 

….

 

Siang ini seperti miskin sengatan

Benderang tadi semakin siratan

Dimangsa terkaman gelap awan

 

Harapku semula tidak hujan

Namun tetes air terlanjur berjatuhan

Sudah, kita tak perlu berlarian

 

Air sudah berserakan

Langkah tak perlu kau tahan

Biarkan basahmu menyatu bersama alam

 

Toh kita berasal dan kembali ke sana

Mengapa mesti kecewa?

24 November 2008

Yang tanggung, yang banci

Jangan perhatikan ke atas. Cukup lihat dalam pandangan horizontal. Karena yang hendak kumaksud ada dalam perspektif ini. Hujan tanggung kusebut. Tanggung karena dari segi kuantitas serta kualitas memang tidak penuh, niat, dan serba hampir. Hampir lebat, hampir lama, hampir berangin hebat sehingga cocok sekali kusebut tanggung. Waktunya singkat, debitnya tidak besar, kualitasnya juga tak menggelegar lazimnya gemuruh kilat. Hanya seember bila dikumpulkan semua titik air yang jatuh di genteng ku.  Itu juga hampir penuh. Makanya kusebut tanggung. Tapi yang tanggung itu biasanya linglung karena ia berada di daerah antara. Daerah batas yang bukannya tidak memihak, namun tidak punya pendirian. Seringkali yang seperti ini yang menyebalkan. Cerah tidak, kuyub jua bukan.

 

Buat mereka di jalan, pasti cukup kesal dibuatnya. Semula dikira lebat, mengingat serangan awal yang menggebu. Namun ditunggu beberapa saat sambil berganti kostum anti air, keadaan berbalik cerah semula. Pengendara motor kerap makan hati. Malunya adalah tatkala seragam lengkap anti air itu masuk dalam zona cerah kering kerontang pada wilayah yang tak dilewati awan hitam.

 

Mungkin tidak masalah, atau malah “ngapain sih yang kaya gini dijadikan puisi atau diskusi?”. Tapi buatku pribadi, hujan yang tanggung mengingatkanku pada sifat kebancian. Bukan benci, tapi banci. Sekali lagi b-a-n-c-i. Tidak ini, tidak itu, tapi mengharap keduanya. Dan sifat itu menyelinap dalam ketidaksadaran kita. Aku berkata ini sebagai sifat, bukan materi hidup seperti kita kenal di perempatan jalan dengan ‘kecrekannya’.

Jadi, hujan ini seperti berkelamin dalam kualitasnya. Lebat deras yang maskulin. Rintik stabil yang feminis. Yang bukan kedua-duanya tapi sekaligus mengharapkan keduanya, ya banci.

 

21 November 2008

Hujan akhir-akhir ini

Hujan akhir-akhir ini lebih mengesalkan ketimbang menyenangkan
Di depan rumah deras, aku bersiap kostum hujan
Genap lima ratus meter dari pagar, sudah kering…malah kerontang
Gimana gak jengkel, apalagi seringkali kejadian

Pernah juga, hujan deras, deras sederas-derasnya setengah mati
Aku tahan niat untuk pergi.
Ketika terang, langsung aku ngacir.

200 meter dari rumah....hujan langsung lebat
Tanpa mendung, berita, bahkan surat
Padahal matahari sudah lengkap semburat

Jujur saja,
ketika hal-hal ini terjadi, hujan seperti kehilangan potensi inspirasinya untuk diperas
Yang tinggal kini umpatan pedasssss
Pedas sederas lebat hujan yang menggempur aspal.

20 November 2008

Air Putih


Dalam gelasku, tenang dan bening
Kutatap, ia geming
Kucecap, tak asin
Kuraba, tidak licin
Sederhana namun penting
Dalam transparasimu, jutaan nyawa bersanding

19 November 2008

Potong Ruang Orang Di Jalan


Karena bangun kesiangan aku putuskan untuk ngebut. Selepas pintu pagar aku selalu tak kurang dari 40. Itu sendiri sudah syarat minimal demi pencapaian pukul 7, dalam waktu kurang lebih 40 menit. Ya, jam 7, batas akhir aku menyerahkan diri dan melapor melalui sebentuk kartu elektronik penanda kehadiran. Agak aneh memang. Kalo tidak karena manusia itu sendiri yang berulah (berkreasi atas kedisplinan waktu dan direspon oleh imaginasi teknologi), pastinya aku tak perlu repot-repot menghambakan diri pada kotak presensi elektronik. Tapi aku tak hendak bercerita soal ini.
Ya. Pada kurang lebih 200 meter dari rumah, di samping tol Kebun Jeruk. Persis di pertigaan. Dua motor, salah satunya aku dan satu mobil di depan kami yang sedikit ragu untuk berbelok kanan. Lampu merah belakang itu menyala. Semula aku hendak ambil kanan. Namun, sadar atas lampu sign kanan yang menyala terlambat aku langsung bereaksi pindah ke kiri. Saat itu sudah 60. Rem kuinjak dalam, gigi kuganti hingga 2. Motor satunya yang kusebut tadi. Dua orang, permpuan yang satu membonceng lelaki di depan. Kami seperti berebutan di celah itu. Hanya satu motor yang mungkin untuk masuk dan melaju meninggalkan mobil ragu ini. Aku atau dia? Kalau aku masuk, tentunya perempuan itu akan berteriak sebentar karena si abang harus mengerem mendadak. Aku juga akan kaget bercampur masa bodoh. Jika si abang kuberi kesempatan, pastinya aku akan kehilangan detik-detikku dalam pengejaran absen demi syarat uang harian. Apalah arti sedetik lebih cepat kalau hidup 27 tahun menjadi taruhan. Aku mengalah! Dan ia merespon positif. Bila sedikit lagi aku tarik gas itu, tamat sudah pagi itu.
Tapi yang mengesalkan adalah ini. Saat aku masuk Kemang. Pertigaan Kemang, yang menjadi landmark salah satu kapitalis di negeri ini. Di situ, konsistensi di atas 40 masih terjaga. Hanya ada aku dan motor satu lagi, bebek. Di depan kami ada sedikit tonjolan dari dalam aspal. Dasar Jakarta. Saya pikir pemerintah turut andil dalam kecelakaan ataupun keributan di jalan oleh karena buruknya kondisi jalan, manajemen pemeliharaannya sampai inkonsistensi birokrasi soal dana praktisnya. (Gila, hanya karena dan gara-gara aspal yang menyembul semua jadi wajib untuk menerima sumpah serapahku, what a freak morning I have).
Ya, tepat di liku jalan itu menghindari benjolan laknat itu dan ambil serong ke kanan, persis di mana motor sebelahku sudah ancang-ancang untuk melewatinya. Intinya aku mencuri ruangnya. Dia tidak terima. Sudah kuduga (paling-laing teriak-teriak gak jelas). Dan memang gak jelas, lha wong dia ngomong ibarat kumur-kumur karena teriakannya terhalang penuh oleh sumpalan mulut anti debu yang ia kenakan sendiri. Hihihihihi, seperti sebelumnya, aku sedikit kaget dan masa bodoh. Aku langsung ngeloyor pergi. Untungnya lampu bergnti hijau dan aku tambah tak peduli.
Selang berapa lama aku sudah di perempatan yang lain. Kupikir masalah sudah berlalu. Aku siap untuk maju ke depan. Aku ambil sisi kiri demi mudahnya saat hijau nanti. Ketika masih merah aku menunggu dan sesekali beberapa motor yang mau belok langsung ke kiri melewatiku dari sisi itu. Tak sadar, bebek sialan tadi lewat di belakangku dan ‘kplak’ (monyetttt!!!!) orang itu memukul kepalaku cukup keras. Aku lihat celana panjangnya warna coklat (Iya itu POLISI, yang seharusnya jadi teladan jalanan). Dalam hatiku, “Ta elahhhhh, kesalnya kok sampai ngeplak, apa gak bisa cara yang lebih profesional dan berwibawa? Dasar!!!!!!” Dan dia langsung ngeloyor pergi ambil jalur kiri. Sialan double!!!!!! Gue pikir dia bakal terus, eh malah ke kiri. Dan aku semakin tambah tak peduli. HIJAU!!! Aku melaju.
Baru juga sepersekian detik aku tancap gas ini, motor lain sudah mendahuluiku dair sebelah kiri dan langsung memtotong jalanku ke kanan. Aku spontan, kontan, dan Kompas..eh salah…. Langsung teriak “MONYETTTTTTTT!!!!!!!!!”
***** huahahahahahaha, apa bedanya sikap tersebut dengan Polisi (mungkin) tadi? Ya beda. Dia pake mukul, aku gak. Ah, itu kan cara singkat orang yang gak pake otak untuk merespon sesuatu. Tapi aku gak berpikir ke situ. Yang aku hendak refleksikan adalah tabiat pengendara motor di Jakarta termasuk aku. Entah atas motiv apa, kita semua pasti pernah memutuskan untuk ngebut di jalanan. Buatku ngebut di atas 80 bukan perkara spontan, tapi sebuah reaksi atas stimulasi tertentu. Apalagi di pagi hari dengan acuan waktu 40 menit untuk harus sampai dari Tanjung Duren ke Simatupang, sebelum jam 7 pagi, bila tidak hangus uang harianku. Yang membuat ngebutku masuk akal adalah uang harian itu.
Ya, setiap orang punya alasan untuk memacu kendaraannya lebih dari batas normal (di luar situasi lomba). Hanya masalahnya jalanan bukan dia yang bangun dan demikian bukan monopoli dirinya. Artinya, kecepatan kita tidak hanya berpengaruh pada semakin lekasnya kendaraan membawa kita ke tempat tujuan, tapi juga punya hubungan langsung-tidak langsung dengan sesame pengendara di jalan. OK Pak Polisi (entah siapa anda), tapi saya minta maaf: atas kesalahan saya memotong ruang bapak, dan atas kealpaan saya untuk meminta maaf di tempat. Saya tadi buru-buru mengejar jam 7 (stau hal penting yang saya jamin menjadi sangat tidak begitu penting sebagai pertimbangan bapak, buktinya bapak main keplak begitu saja tanpa dialog). Saya maafkan bapak atas kesalnya hati di pagi hari terhadap saya dan spontanitas main keplak sendiri.
TAPI GAK BISA GITU DONG!!!!
Dasar Polisi (mungkin) EDANNNNN REPRESIFFF GAK PAKE OTAKKKKKK!!!!!!!

18 November 2008

Tentang PUISI

Puisi itu seperti obat
Seteguk untuk sesaat
Dan sekejap hilang penat

Puisi ibarat pisau
Pilihan kata yang memukau
Menyayat dan keluar risau

Puisi sebutlah gula permen
Kau kunyah, hisap, dan telan
Legitnya meresap diam-diam
Yang tinggal hanya ingatan perasaan

Puisi seolah rokok
Habis dan ingin lagi dipasok
Tak sadar kata itu menohok

Tapi juga dan bahkan

Puisi umpama pelita
Resap dan renung di ruang gulita
Fajar sadar lahir dan menggurita

Bagai semua, berakibat apa saja
Seribu satu olah dan ulah kata
Puisi kita

17 November 2008

Asap Harapan di Senin Pagi Jakarta

Aku keluar jam 6 lewat enam.
Pagi maksudku, bukan petang.
Semula, absennya mentari karena tebalnya awan menipu sejenak pandangan dan orientasi waktuku. Kupikir masih pagi, ternyata siang sudah ditandai oleh kejaran mobil-motor di jalan Panjang. Sial, mereka cepat sekali. Belum lagi bus-bus bagai gedung berjalan kerap berhenti mendadak, membuat silap kesabaran.
Khususnya motor. Kami seperti kawanan anjing yang dilepas dan lari liar ke segala penjuru arah. Memenuhi jalanan, menyelip di ketiak spion sedan atau minibus, dan mengumpul di hilir lampu merah, muara perempatan jalan.
Sebentar aku mengambil napas, sekejap anjing besi itu ngibrit dengan premiumnya.
Derunya tidak rendah dan berat, melainkan ringan, lancar, dan cempreng. Kencang kali beliau ini. Premiumnya tak tanggung rupanya, dan langsam pula tarikannya.
Ngacirnya bukan main. Dan satu lagi. Khasnya motor lawas.....asap kepul dari mulut knalpot. Asapnya itu brurrrr, cuat harapan di pagi hari. Jakarta punya cara untuk membuka pagi ini. Dengan kebutan, dengan klackson, seragam, sampai asap.

01 September 2008

Into the wild


I have run through this life.
So far, it still A.M. to get a judgment
I had left all and none of regrets I felt
Alone but not loneliness
Wish for the absolute One
The world without hypocrites or creepers
Just me and the wild
Dare to be naïf, as the men seek for the Truth


Thanks to the brave of Christopher McCandless (alias Alexander Supertramp).

27 Agustus 2008

Bubur Ayam Malam

Bubur ayam,.... 15 detik kemudian, bubur ayam
Suara tua, sedikit parau namun tetap lantang sampai kejauhan beberapa meter
Sudah setengah delapan malam, siapa pula yang mau menawar?
Gerobaknya menjelang usang, dan terangnya hanya lilin yang kian padam
Aku haru oleh kuatnya, juga haru oleh semangatnya
Tentunya bukan karena giatnya, namun karena desakan
Juga bukan karena mimpinya (mimpinya pastilah sudah terkubur oleh realitas), namun oleh kebutuhan
Tak habis pikir akan malam ini,
akan gerobak itu, buburnya, juga suara serta langkah agak patah
Siapa pula yang hendak menawar? Tapi ia tetap menarik dan memekik,”Bubur ayammmmmm”

22 Agustus 2008

Di atas sana


di atas sana, kita menemukan segalanya
segala hal yang tak semua mampu untuk dilihat ketika datar disini

di atas sana,
seluruh amarah kita menguap bersama udara
segenap hasrat kita penuh oleh kepuasan sabda
segala ragu kita terjawab oleh suguhan nyata kehidupan
karena kita dimampukan melihat segala dari ujung vertikal puncak sumbu X

bahagia aku bila sudah di atas sana
tuntas sudah perutusan sehidupku

sekarang aku masih di sini, pada dataran dan hamparan horisontal perbedaan
kalian yang sudah di atas sana, doakan kami
sampaikan padaNya,
"horisontal kami seringkali terlampau vertikal"

05 Agustus 2008

Aku berhadapan dengan sang ruang dan sang waktu

Gak tau ya, tapi hari ini semua terasa dan tampak tawar

Senyum sepintas hanya sebentuk kurva di bibir

Sayur di lidah juga berbalik pada cibir

Terlebih rangkuman hidup sehari cenderung asam yang tak kunjung berakhir

 

Mungkin sang kala punya "rasio"nya sendiri untuk beralasan meninggalkanku sementara

Sampai tidak menyisakan waktunya bagiku untuk bersenang-senang

Mungkin juga ruang berhak "sirik" untuk memonopoli dirinya

Hingga aku sulit bergerak merenggangkan tekanan di batin ini

 

Ya, hari ini begitu sempurna justru oleh kesan-kesan yang tak muncul sebagai kesan sepatutnya

Manis enggak, pahit apalagi

Seneng enggak, sedih juga enggak

 Marah enggak, mau tertawa juga nggak punya alasan untuk itu

Tinggal satu, tawar……..

Ya itu mungkin rasanya "BT". Anggaplah manusia punya saat dan tempatnya untuk menghadapi situasi begini supaya bisa benar-benar merasakan yang begitu.

Menulis seperti ini, jadi terpikir kurang intelek, walau terasa begitu elok. Siapa peduli pula. Sudah tertuang, begitu saja.
 

 +622192232183 





 


25 Juli 2008

Dari Sabang sampai Merauke

Korupsi,
gizi buruk,
listrik mati,
mark-up,
banjir,
kekeringan,
kelaparan,
pilkada, dan golput.

Orang bilang:
"Tanam jagung, tumbuh gedung
Tanam kasih, tumbuh aborsi
Tanam investasi, tumbuh korupsi"

Semua serba terbalik di negeri ini,
Kalo begitu Welcome to Jakarta, The Next Venice!!!

24 Juli 2008

MEGA! tanpa WATI!!!


 

 

Di atas sana, hitam dan kelabu tampak gradasi. Putihnya berangsur menegas oleh jasa mentari pagi. Yang unik adalah ruang sini dan sana dari horizon kelabu pagi hari. Semula aku tak peduli. Aku terlalu konsen dengan speedometer motor ku. Membalap angkot dan rival motor di Wijaya setidaknya mampu membuat rutinitas jalur kerja menjadi ajang mini-racing yang menggetarkan adrenalin agar tak termakan kantuk, apalagi muak lampu merah.

Tapi semburat jingga di peralihan gelap-terang cukup menarik kerlingan mata. Sinarnya menembus kaca bening helmku. Bila tak ada aral melintang aku akan terbang menuju batas-batas mega hingga ketemukan kejujuran mentari. Namun sayang. Tujuan kerja sudah menjadi komitmen sedari rumah tadi. Jadi perjalanan ini memang hendak menuju Simatupang. Selingan tari cahaya dari bias kaca helm cukuplah hiburan sela dalam tarikan gas. Benarlah, sinarnya membuatku kagum dan tersenyum. Ya, bila tak ada aral melintang, saat wafatku, engkau yang hendak kutemui lebih dahulu.

Kejujuran mentari pagi di balik mega peralihan. Siapa sangka engkau melihat seluruh sejarah peradaban.


 


21 Juli 2008

Pada Perempuan


 

Merenungi kekasihku yang begitu mengasihiku, padahal aku bukan apa-apa, aku tersadar:

Mereka ingin orang yang mampu menghormati, bukan pria yang membusung saat memberi

Juga seorang yang niat mendengar, bukan pencecar

Kesukaan, apalagi kesedihan, sudah menjadi umum, terlebih bila berlinang air mata

mereka ingin dipeluk

tawa dan senyum, itu bukan bohong

ingatan, rindu, sms dan miscall, pertanda kesungguhan

Bila sudah cinta, tak lagi harta, tak lagi dunia

Hanyalah harapan dan perjuangan bersama

Dan semua bertekuk lutut mengikuti…..dunia, harta, jaya, gila

Bahkan koruptor pun iri padaku.

 

17 Juli 2008

00:40 / 00:44


 
 
 

00:40 atau 00:44

40 atau empat-empat?

Bukan itu, tapi satu hal

Ada satu yang ditambahkan malam ini,

Pada nafasku, jiwaku, pikiranku, dan perasaanku

Satu hal yang tak bisa menipu, masuk diam mengendap, tanpa aku mampu menolak

Diam-diamnya itu begitu natural sampai aku terpaku kagum dan bahagia

Cinta, umur, dan pengharapan,

Semua menjadi satu

Satu hal itu adalah ulang tahun, malam ini, hari ini!

July, 17.


11 Juli 2008

Mentari di balik Mega Peralihan



Di atas sana, hitam dan kelabu tampak gradasi. Putihnya berangsur menegas oleh jasa mentari pagi. Yang unik adalah ruang sini dan sana dari horizon kelabu pagi hari. Semula aku tak peduli. Aku terlalu ‘konsen’ dengan speedometer motor ku. Membalap angkot dan rival motor di Wijaya setidaknya mampu membuat rutinitas jalur kerja menjadi ajang mini-racing yang menggetarkan adrenalin agar tak termakan kantuk.
Tapi semburat jingga di peralihan gelap-terang cukup menarik kerlingan mata. Sinarnya menembus kaca bening helmku. Bila tak ada aral melintang aku akan terbang menuju batas-batas mega hingga ketemukan kejujuran mentari. Namun sayang. Tujuan kerja sudah menjadi komitmen sedari rumah tadi. Jadi perjalanan ini memang hendak menuju Simatupang. Selingan tari cahaya dari bias kaca helm cukuplah hiburan sela dalam tarikan gas. Benarlah, sinarnya membuatku kagum dan tersenyum. Ya, bila tak ada aral melintang, saat wafatku, engkau yang hendak kutemui lebih dahulu. Kejujuran mentari pagi di balik mega peralihan.

02 Juli 2008

at last


one thing u've never done
is one thing u've never start

CEMPAKA ini

01 Juli 2008

HUjan dan KITA


Ketika masih satu-satu

Yang muncul adalah sejuk

Indera menghirup kesegaran

Dan angan mengkhayal jauh

 

Tatkala rintik berubah drastis

Dan guntur sembari kilat mengiris

Kita semua lantas meringis

 

Banjir di pelupuk iris

Air dari "atas", berkah atau ironis (sih)?


seteLaH SurgA




Sayur asam ini, walau mahal, tapi menyegarkan

tempe dan ikan asin pun menambah selera,

walau nasi yang tanak berlebih air...sikatttt

 

Dan siang ini begitu membuai

Oleh kesederhanaan, ratapan, dan harapan

 

Setelah surga nanti, aku tidak akan pergi kemana-mana lagi.

Karena manisnya di sana melampaui legitnya "Marjan" di ujung lidah.

 

mati sekarang atau nanti, yang penting bersyukur

makan siang yang berbayar ini membuat hidup kost terasa boss


10 Juni 2008

debut seorang pendaki

19 Maret 2008

Hari terakhir


 

Hari ini adalah terakhir sebelum merah-merah besok

Hari ini adalah final dari segenap lelah berbulan-bulan

Besok bisa saja lelah namun tanpa penat dan umpatan

Karena besok adalah tanpa atasan, tanpa teguran, yaitu LIBURAN

 

Mengingat keterakhiran hari ini…serasa besok adalah mati

 

Karena jiwa tidak lagi terkungkung badan

Melainkan terbang bebas (walau ini adalah sebuah asumsi subjektif)

Menjuru sudut-sudut keterbatasan dan menusuk

Menembus kamar dan masa

 

Can't hardly wait!!!



 



Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

29 Februari 2008

Kamar Malam

"matahari terbenam..hari mulai malam, terdengar burung hantu...suaranya merdu"
 
Gelap, dan hanya itu. Jika hendak ditambah adalah dengungan jangkrik di kamar ini. Temaran tak jua. Pun remang kesan mesra. Yang ada gelap, dengung, dan aku.
Dalam sila aku melayangkan imagi. Merayap dan meraba udara. Berangsur larut dan merasuk transendensi pada Sang Maha.
Ucapan syukur dengan sedikit malu agak takut aku membatin,"Bukan hidup yang lebih mudah, namun kekuatan untuk menghadapi kehidupan.Amin"
 
Selamat malam gelap. Selamat tidur kekasih. Selamat beristirahat dunia.


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

28 Februari 2008

Sudah 2 Minggu

Kau menunggu
Sudah dua minggu
dan aku tetap terpaku
 
Aku sebenarnya ingin
namun begitu dingin
akhirnya hilang oleh angin
 
Yang semula penuh gelora, kini sublim tanpa jiwa
 
Tapi ingin itu masih ada
Gelora?
Aku cukup berimagi dan semua mengikuti
 
Sudah dua minggu
Kutinggal semua jauh di belakang


Best regards,

Widya Roys, Stefanus
+6281399290390
+622192232183
or visit
http://kalaMMaya.blogspot.com


 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Hujan pagi ini

Hanya kamu yang terkenang
 
rintik
 
genting basah
 
jemuran
 
bumi yang terguyur limpahan tirta
 
dan berangsur deras
 
sekejap sirna dan benderang
 
Semua kembali tentang kamu


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

27 Februari 2008

Cinta tidak seperti itu

Kamu bilang "jatuh cinta itu kesempatan"
Ya, jatuh cinta memang bisa kapan saja. Tidak peduli waktu, tempat, umur, bahkan siapa.
 
Tapi, apakah yang "kapan saja" itu berarti mutlak?
 
Itu sama saja menyingkirkan manusia yang pada dirinya punya kemampuan untuk mencintai, bukan menunggu untuk dicintai. Cinta tidak ditunggu, tapi ditemukan bahkan digubah!
Ini yang sampai saat ini membuatku dapat hidup dan lebih dari itu, BERARTI! 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

26 Februari 2008

Topeng MONYET

Tingkahmu selalu ditunggu. Di kampung, di sudut-sudut kumuh, juga kadang pada pesta kecil si buah hati. Meski juga kerap sayang untuk menggadai selembar puluhan ribu.
Polahmu,  di mana kau ada, merenggut kesadaran kerumunan sampai pada inti harapan-harapan personifikasi di dalam tubuh seekor monyet.
Entah para pemerhati bilang apa. Gerakan atau petisi hendak menghadang. Namun lincah atraktifmu mesti terus berolah. Pundi-pundi darimu, itu yang membuat kami masih memanggulmu.
Tak akan mati sampai monyet-monyet punah.
Tak akan berhenti walau gedong-gedong kian limpah.
 
Kami yang papa dan kerap sendu ..... merindukanmu Sarimin.


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

24 Januari 2008

untuk Pak Hansip, Tukang Sampah, dan Penjaja Koran yang tergabung dalam satu tubuh seorang Bapak

sudah malam
tapi kerap berjaga
sering lebih dari 24 jam
melampaui lembur mana jua
 
segala cara pun usaha
menunggu malam
mengais pagi
dan menjaja sore
 
kerasnya kerja tak cukup! ternyata
karena keberuntungan mulai angkat bicara dan berdiri setelah modal dan kuasa mementahkan ikhtiar sejahtera
demi ketakutan penerus anak cucu
 
namun, mereka, hidup terus dan harus berjalan
dan kini ia tengah menikmati
guaratan-guaratan merah yang  tercetak perih di punggungnya
 
hidup terus dan harus berjalan.
bila tidak, maka harapan dan Tuhan adalah bualan


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

22 Januari 2008

meski dengan setengah hati

meski dengan setengah hati
pada perjalanan waktu akhirnya mereka membulatkan hati
tapi bukan atas kehendak dan paksaan tuan-tuan
melainkan kesadaran untuk berjuang yang tak kenal henti
kedaulatan dan martabat sebagai insan ilahi
 
untuk : Chief Sitting Bull


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.