21 November 2008

Hujan akhir-akhir ini

Hujan akhir-akhir ini lebih mengesalkan ketimbang menyenangkan
Di depan rumah deras, aku bersiap kostum hujan
Genap lima ratus meter dari pagar, sudah kering…malah kerontang
Gimana gak jengkel, apalagi seringkali kejadian

Pernah juga, hujan deras, deras sederas-derasnya setengah mati
Aku tahan niat untuk pergi.
Ketika terang, langsung aku ngacir.

200 meter dari rumah....hujan langsung lebat
Tanpa mendung, berita, bahkan surat
Padahal matahari sudah lengkap semburat

Jujur saja,
ketika hal-hal ini terjadi, hujan seperti kehilangan potensi inspirasinya untuk diperas
Yang tinggal kini umpatan pedasssss
Pedas sederas lebat hujan yang menggempur aspal.

20 November 2008

Air Putih


Dalam gelasku, tenang dan bening
Kutatap, ia geming
Kucecap, tak asin
Kuraba, tidak licin
Sederhana namun penting
Dalam transparasimu, jutaan nyawa bersanding

19 November 2008

Potong Ruang Orang Di Jalan


Karena bangun kesiangan aku putuskan untuk ngebut. Selepas pintu pagar aku selalu tak kurang dari 40. Itu sendiri sudah syarat minimal demi pencapaian pukul 7, dalam waktu kurang lebih 40 menit. Ya, jam 7, batas akhir aku menyerahkan diri dan melapor melalui sebentuk kartu elektronik penanda kehadiran. Agak aneh memang. Kalo tidak karena manusia itu sendiri yang berulah (berkreasi atas kedisplinan waktu dan direspon oleh imaginasi teknologi), pastinya aku tak perlu repot-repot menghambakan diri pada kotak presensi elektronik. Tapi aku tak hendak bercerita soal ini.
Ya. Pada kurang lebih 200 meter dari rumah, di samping tol Kebun Jeruk. Persis di pertigaan. Dua motor, salah satunya aku dan satu mobil di depan kami yang sedikit ragu untuk berbelok kanan. Lampu merah belakang itu menyala. Semula aku hendak ambil kanan. Namun, sadar atas lampu sign kanan yang menyala terlambat aku langsung bereaksi pindah ke kiri. Saat itu sudah 60. Rem kuinjak dalam, gigi kuganti hingga 2. Motor satunya yang kusebut tadi. Dua orang, permpuan yang satu membonceng lelaki di depan. Kami seperti berebutan di celah itu. Hanya satu motor yang mungkin untuk masuk dan melaju meninggalkan mobil ragu ini. Aku atau dia? Kalau aku masuk, tentunya perempuan itu akan berteriak sebentar karena si abang harus mengerem mendadak. Aku juga akan kaget bercampur masa bodoh. Jika si abang kuberi kesempatan, pastinya aku akan kehilangan detik-detikku dalam pengejaran absen demi syarat uang harian. Apalah arti sedetik lebih cepat kalau hidup 27 tahun menjadi taruhan. Aku mengalah! Dan ia merespon positif. Bila sedikit lagi aku tarik gas itu, tamat sudah pagi itu.
Tapi yang mengesalkan adalah ini. Saat aku masuk Kemang. Pertigaan Kemang, yang menjadi landmark salah satu kapitalis di negeri ini. Di situ, konsistensi di atas 40 masih terjaga. Hanya ada aku dan motor satu lagi, bebek. Di depan kami ada sedikit tonjolan dari dalam aspal. Dasar Jakarta. Saya pikir pemerintah turut andil dalam kecelakaan ataupun keributan di jalan oleh karena buruknya kondisi jalan, manajemen pemeliharaannya sampai inkonsistensi birokrasi soal dana praktisnya. (Gila, hanya karena dan gara-gara aspal yang menyembul semua jadi wajib untuk menerima sumpah serapahku, what a freak morning I have).
Ya, tepat di liku jalan itu menghindari benjolan laknat itu dan ambil serong ke kanan, persis di mana motor sebelahku sudah ancang-ancang untuk melewatinya. Intinya aku mencuri ruangnya. Dia tidak terima. Sudah kuduga (paling-laing teriak-teriak gak jelas). Dan memang gak jelas, lha wong dia ngomong ibarat kumur-kumur karena teriakannya terhalang penuh oleh sumpalan mulut anti debu yang ia kenakan sendiri. Hihihihihi, seperti sebelumnya, aku sedikit kaget dan masa bodoh. Aku langsung ngeloyor pergi. Untungnya lampu bergnti hijau dan aku tambah tak peduli.
Selang berapa lama aku sudah di perempatan yang lain. Kupikir masalah sudah berlalu. Aku siap untuk maju ke depan. Aku ambil sisi kiri demi mudahnya saat hijau nanti. Ketika masih merah aku menunggu dan sesekali beberapa motor yang mau belok langsung ke kiri melewatiku dari sisi itu. Tak sadar, bebek sialan tadi lewat di belakangku dan ‘kplak’ (monyetttt!!!!) orang itu memukul kepalaku cukup keras. Aku lihat celana panjangnya warna coklat (Iya itu POLISI, yang seharusnya jadi teladan jalanan). Dalam hatiku, “Ta elahhhhh, kesalnya kok sampai ngeplak, apa gak bisa cara yang lebih profesional dan berwibawa? Dasar!!!!!!” Dan dia langsung ngeloyor pergi ambil jalur kiri. Sialan double!!!!!! Gue pikir dia bakal terus, eh malah ke kiri. Dan aku semakin tambah tak peduli. HIJAU!!! Aku melaju.
Baru juga sepersekian detik aku tancap gas ini, motor lain sudah mendahuluiku dair sebelah kiri dan langsung memtotong jalanku ke kanan. Aku spontan, kontan, dan Kompas..eh salah…. Langsung teriak “MONYETTTTTTTT!!!!!!!!!”
***** huahahahahahaha, apa bedanya sikap tersebut dengan Polisi (mungkin) tadi? Ya beda. Dia pake mukul, aku gak. Ah, itu kan cara singkat orang yang gak pake otak untuk merespon sesuatu. Tapi aku gak berpikir ke situ. Yang aku hendak refleksikan adalah tabiat pengendara motor di Jakarta termasuk aku. Entah atas motiv apa, kita semua pasti pernah memutuskan untuk ngebut di jalanan. Buatku ngebut di atas 80 bukan perkara spontan, tapi sebuah reaksi atas stimulasi tertentu. Apalagi di pagi hari dengan acuan waktu 40 menit untuk harus sampai dari Tanjung Duren ke Simatupang, sebelum jam 7 pagi, bila tidak hangus uang harianku. Yang membuat ngebutku masuk akal adalah uang harian itu.
Ya, setiap orang punya alasan untuk memacu kendaraannya lebih dari batas normal (di luar situasi lomba). Hanya masalahnya jalanan bukan dia yang bangun dan demikian bukan monopoli dirinya. Artinya, kecepatan kita tidak hanya berpengaruh pada semakin lekasnya kendaraan membawa kita ke tempat tujuan, tapi juga punya hubungan langsung-tidak langsung dengan sesame pengendara di jalan. OK Pak Polisi (entah siapa anda), tapi saya minta maaf: atas kesalahan saya memotong ruang bapak, dan atas kealpaan saya untuk meminta maaf di tempat. Saya tadi buru-buru mengejar jam 7 (stau hal penting yang saya jamin menjadi sangat tidak begitu penting sebagai pertimbangan bapak, buktinya bapak main keplak begitu saja tanpa dialog). Saya maafkan bapak atas kesalnya hati di pagi hari terhadap saya dan spontanitas main keplak sendiri.
TAPI GAK BISA GITU DONG!!!!
Dasar Polisi (mungkin) EDANNNNN REPRESIFFF GAK PAKE OTAKKKKKK!!!!!!!

18 November 2008

Tentang PUISI

Puisi itu seperti obat
Seteguk untuk sesaat
Dan sekejap hilang penat

Puisi ibarat pisau
Pilihan kata yang memukau
Menyayat dan keluar risau

Puisi sebutlah gula permen
Kau kunyah, hisap, dan telan
Legitnya meresap diam-diam
Yang tinggal hanya ingatan perasaan

Puisi seolah rokok
Habis dan ingin lagi dipasok
Tak sadar kata itu menohok

Tapi juga dan bahkan

Puisi umpama pelita
Resap dan renung di ruang gulita
Fajar sadar lahir dan menggurita

Bagai semua, berakibat apa saja
Seribu satu olah dan ulah kata
Puisi kita

17 November 2008

Asap Harapan di Senin Pagi Jakarta

Aku keluar jam 6 lewat enam.
Pagi maksudku, bukan petang.
Semula, absennya mentari karena tebalnya awan menipu sejenak pandangan dan orientasi waktuku. Kupikir masih pagi, ternyata siang sudah ditandai oleh kejaran mobil-motor di jalan Panjang. Sial, mereka cepat sekali. Belum lagi bus-bus bagai gedung berjalan kerap berhenti mendadak, membuat silap kesabaran.
Khususnya motor. Kami seperti kawanan anjing yang dilepas dan lari liar ke segala penjuru arah. Memenuhi jalanan, menyelip di ketiak spion sedan atau minibus, dan mengumpul di hilir lampu merah, muara perempatan jalan.
Sebentar aku mengambil napas, sekejap anjing besi itu ngibrit dengan premiumnya.
Derunya tidak rendah dan berat, melainkan ringan, lancar, dan cempreng. Kencang kali beliau ini. Premiumnya tak tanggung rupanya, dan langsam pula tarikannya.
Ngacirnya bukan main. Dan satu lagi. Khasnya motor lawas.....asap kepul dari mulut knalpot. Asapnya itu brurrrr, cuat harapan di pagi hari. Jakarta punya cara untuk membuka pagi ini. Dengan kebutan, dengan klackson, seragam, sampai asap.