12 Desember 2008

Satu untuk Yang Lebih Manusiawi

“ I’m broke but I’m happy

   I’m poor, but I’m kind”

 

Alanis had said that,

and we just knew that

recently, since the local doom had hit us

mechanism, hypocrites, and those who hold the capitals

 

we just lost our space

time were stolen without trace

 

but not our rights

nor our  consciences

 

open your mind

don’t let it blind

happiness and kindness were built, found, not given

never wait, or even begging the destiny for having ourselves put into one of them! 

 

We still have faith in the One

and a great free will for the reason one

then there is only a word for one

Wiji Tukul said it already, “Lawan!”

11 Desember 2008

jakarta masih hijau

Kalo ada pendapat bahwa Jakarta sudah miskin oksigen, hmm nanti dulu. Barusan aku melihat dari ketinggian. Meskipun hanya di sebelah selatan, tapi hijaunya kota ini masih ada. Pohon-pohon menjulang tinggi. Beberapa terawatt, sebagian berupa liar namun tetap memiliki makna fungsi, penghijauan dan pe-oksigen-an.

Aku baru sadar tatkala reguk air putih sudah sampai di dahaga. Sebelumnya mutiara runtuhan air sudah membersihkan pandangan. Dan seluas mata memandang, selatan kota ini masih berserak hijau. Seperti kelir yang digores sembarang. Dan kini menyejuk pandang.

Aku hirup udara sore ini. hmmmmmmm

10 Desember 2008

Gugusan Punuk di Selatan Jakarta

Mungkin aku yang terlalu mencintai gundukan itu. Julang tinggi, kembar serupa payudara kerap menjadi motivator pada 80Km/jam di pagi hari. Di selatan, bukan di barat-timur, apalagi utara laut. Tentu,pegunungan itu di selatan dan kota ini seperti berbenteng justru dari sisi dalamnya. Mereka duduk anteng melihat dan dilihat dari kejauhan. Penglihatan akan mereka penanda bahwa udara bersih masih bisa hadir di kota ini. Sayat dan corak warna biru berkuning emas menjadi gairah tersendiri ketika hutan beton memang tak berciri seni apapun. Kehadiran Gede-Pangrango di eloknya pagi seperti Godzilla jinak yang tersenyum tanpa ancaman taring.

Aku sendiri, di jok motor. Menanti  hitungan detik merah yang segera hijau. Pada kilas detik itu aku menghentikan waktu. Waktu subjektif tentunya, karena pada jam ini semakin banyak orang sudah sadar dan berlari. Bila kehendak ini kupaksakan pada semua orang, malah jadi lucu. Siapa pula mau peduli pada lukisan pagi hari bila anak belum sampai sekolah, bila koran masih segepok di lengan, juga bila tenggat kantor tidak akan menerima toleransi? Tapi aku peduli bahkan menikmati. Setidaknya detik-detik berharga ini tidak kuanggap kosong dengan bengong menunggu pergantian lampu.

Tiga detik berlalu dan aku masih duduk di atas motorku. Persneling kubuat netral. Lenganku dan jemari bisa istirahat sejenak. Dada kubusungkan dan kaca helm kubuka serupa jendela rumah. Aku tidak begitu peduli dengan gerah jaket serta rompi motor. Bila dua punuk itu sudah tersibak dari awan putih, maka tak sedikitpun waktu kusisakan meski hanya untuk berjejal di sela longgar ruang antar kendaraan. Yang penting posisiku sudah pas untuk menatap dan mengagumi senyuman pagi. Harapan baru. Karena usai merah ini tak akan lagi kudapat pengalaman identik.

Detik ke sepuluh sudah bergulir, masuk ke perpuluhan berikutnya. Aku mejadi teringat kisah-kisah pendakian gunungku. Terutama dua gunung ini. Yang satu lebih tinggi dari yang lain, itu cirinya. Yang satu berkawah berbeda dari tetangganya yang cukup meruncing, standar gambar anak-anak di orde baru. Bisa jadi, jaman itu, ketika knalpot belum merajalela, juga pohon semen tidak setinggi sekarang, anak-anak masih mungkin melihat kakak-beradik ini dari kejauhan ujung-ujung Jakarta. Bisa jadi bahkan sampai dari utara sekalipun. Bukankah peta jaman Belanda VOC dahulu kerap disematkan gunung pada orientasi selatannya? Dan saat itu yang disebut kota adalah wilayah pesisir Jakarta sampai pada kira-kira Istana Negara sekarang. Bila aku hidup di jaman itu tentunya aku akan lebih terkagum-kagum dan menunggu-nunggu pagi. Malahan aku tak akan menyesal bahwa kau lelapku sudah sampai penghabisan waktu dan mesti kembali bekerja. Tentunya dengan sambutan hangat Gede-Pangrango.

Yahhhh, detik terakhir. Penglihatanku dikagetkan oleh gerak turun cahaya dari kotak hitam berdebu itu. Merah berganti sekejap menjadi kuning. Langsung kutarik koplingku, dan hijau. Selamat tinggal. Besok, semoga secerah ini dan lebih indah lagi.

09 Desember 2008

Hari Senin Yang Libur

Tapi hari ini bukan berarti santai. Terutama di lapangan. Ya di tanah lapang. Kebanyakan orang sudah berkumpul di sana. Berbincang, jajan, bercanda, sampai melamun. Sedikit bapak, banyak ibu, perempuan, dan dilengkapi riuh rendah anak-anak.

Semua masuk dan menenggelamkan diri pada penantian. Sedang yang dinanti tengah  digarap oleh sisa himpunan orang menunggu itu. Mereka adalah harapan. Para penjagal suci. Atas kesukaan dan kerelaan. Sungguh orang-orang ini memang menyukai suasana kebersamaan, dan terlebih sifat berbagi , kerelaan, yang bisa mereka aktualisasikan menggenapi senin libur ini. Pahala bukan hanya dibagi untuk para penyumbang, tetapi mereka yang turut andil walau hanya sesayat.

Mata sapi di atas kepala dan beranjak turun selepas adzan. Suasana makin panas. Derap kaki menjadi –jadi. Hati merambat gelisah. Antrian sudah meruncing oleh simpul pertanyaan yang volumenya sudah menohok dagu para penjagal,”Udah selesai belom? Kapan nih Bang!!!????” 

Selokan kampung, saluran air, hingga gorong-gorong kota drastis merah. Bak sepuan yang ditabur sengaja oleh bocah, darah segar itu menghiasi hitam pekat sungai yang setahun sekali berkesempatan berganti warna. Tentunya ini bukan sebuah tulah, mengingat hari ini adalah momen berkah, bagi siapa saja.

Akhirnya, kantung sudah terisi. Plastik hitam telah rata padat termuat. Sedapat mungkin perkiraan subjektif dalam tempo singkat mesti diberdayakan guna mengeksekusi keadilan distributif untuk semua hadirin. Aku memandang, aku melihat dan menyaksikan. Tontonan ini selagi melepas lapar seharian. Di pojok tanah terbuka itu, di depan mesjid berposisi hook, aku mendengar gemuruh hadirin menyambut suara kresek dan feed back mikrofon yang baru ditancap ujung kabelnya ke kubus speaker mesjid. Suara yang lazim dianggap gangguan system suara kini, siang ini, menjadi penanda harapan dan kepastian. Sejurus bapak berpeci dengan kumis wibawa, sepertinya ia adalah korlap laskar jagal siang ini, memberi arahan bagi hadirin terhormat, para hamba Allah. Mereka diharap berbaris rapi, tidak perlu berdesakan, dan tentunya kalimat penyegar,” tenang, semua sudah dibagi agar semua kebagian.” Kalimat itu seperti lontaran verbal di telinga yang langsung terasa teh manis dingin di tenggorokan.   

Maka mulailah kantong-kantong kurban dijejerkan. Semua sekilas sama padat dan besarnya. Gundukan daging segar itu sejenak memenuhi keraguan hadirin akan sama rata-sama rasa pembagian. Barisan sigap bergabung menjadi satu manusia penadah. Manusia gemuk atas kumpulan individu yang siap diintruksikan guna menengadah tangan, alhamdulilah, kemudian melangkah ringan dengan daging dijinijing.

Tapi barisan tidak cukup atas orang yang berkumpul sejak pagi. Semenjak mikrofon itu bergema, puluhan ibu-ibu,perempuan, sesekali bapak dan anak (mengapa lebih banyak para kaum menyusui?) berlari kecil, melangkah panjang, menambah antrian yang kian berserak di luar naungan tenda mini hijau itu. Seraya menunduk mereka sesekali berlari dan menyelingi dengan langkah panjang.

 Lucu. Seolah mereka malu atas langkah terburu mereka. Mungkin mereka sendiri bertanya dalam hati,”Kok saya lari ya, kenapa?” Apakah karena jatah daging? Mereka sendiri sebenarnya juga tahu, sapi  dan kambing segitu tidak akan cukup untuk orang sekampung, apalagi semakin lebih banyak orang yang beraji mumpung. Tapi sorak kejauhan yang terdengar sedari ujung gang membangkitkan riang di dada yang menyulap langkah menjadi begitu ringan dan malu bukan lagi pertimbangan penting.

Dapat atau tidak dapat, yang penting masing-masing dari mereka  sudah memberi kepastian bagi diri akan kemungkinan memperoleh sekerat daging atas pemenuhan prosedur sederhana, antri seharian. Mungkin qurban, bagi mereka yang belum mampu  “berkurban (baca:menyumbang)”,  adalah dengan berperan sebagai sisi sebaliknya, yaitu pihak pasif yang sebenarnya diperlukan proaktif menjemput bola, daging sapi potongan bapak penjagal suci. Ya proaktif menunggu dan antri tertib dengan pengurbanan lelah seharian, penat di kepala dan pegal di kaki. Bisa jadi, siapa yang tahu motif jelas mereka?

Dan senyum dipanen. Tangan-tangan bermuatan sekarang. Lari-lari berubah menjadi langkah santai usai buruan di tangan. Pembicaraan berganti topik, pengalaman mengantri, rebutan sedekah, serta kepuasan hasil perolehan. Manusia-manusia itu kini menjadi diri mereka kembali , sendiri-sendiri, setelah kepentingan mereka terpenuhi. Tak lagi ragu, tak perlu lagi menunggu, jika kerat daging tidak lagi jadi penantian. Pikiran pun berubah pada bayangan bumbu, racikan cabai, bawang, dan kecap, serta tusukan bamboo yang dijereng di atas bara api. Nikmat itu tinggal menunggu waktu eksekusi. Sore ini!

Untuk mereka yang telat pencapaian pastilah pulang dengan hampa. Sehampa darah merah serupa sepuan yang menggerayangi hitam got, selokan, sampai kali. Sedih mereka seperti buangan kertas kupon yang ditanggalkan fungsinya setelah bertukar bungkus iga. Mereka kecewa meskipun mereka sudah tahu bahwa mereka akan menuai itu sejak langkah telat yang dipaksakan dari ujung gang.

Tapi toh kecewa mereka bukan kategori gagal. Ini bukan urusan prestasi, tapi cukup pada keadilan jatah. Pemerataan persisnya. Jatah 300 bungkus berarti untuk 300 orang pertama. Jadinya gagal bukanlah kosa kata tepat untuk hari ini. Lebih dari itu ada hal yang segera menghapus dan menegasikan kesedihan siang ini. Yaitu, qurban pada cakrawala keterbatasan manusia, yaitu berbagi. Boleh saja secara teologis kita maknai kurban sebagai persembahan. Namun bagi mereka yang, sekali lagi, belum mampu “berkurban (baca: menyumbang)”, dan terlebih mereka yang masuk kategori paling minor oleh karena tangan kosong menyambut habisnya gundukan jatah daging, qurban masih menyisakan ruang makna. Secara horizontal, qurban itu menjadi kata kerja simbiosis antara mereka yang berlebih dan yang tak punya. Bahkan di antara sesame tak punya, siang ini qurban menjadi makna bersama antara siapa yang mendapat dan yang tak kebagian.

Boleh dikatakan terik tidak melengkapi kesedihan tangan hampa, tapi menjadi penanda waktu menuju sore. Miringnya matahari semakin menegaskan harapan sore. Kerat daging dijejer. Pisau-pisau gesit memotong. Tangan-tangan cekatan segera memperlakukan daging secara kasar. Menusuk, mengiris, dan memanggangnya. Tapi hati penuh cinta yang mendasarinya. Cinta berbagi di sore ini. Pemupus kecewa siang.

Senin yang libur ini terasa adem juga oleh cinta berbagi, meskipun dibuka dengan pembantaian masal dan gumam gemuruh resah antri penantian. 

Malamnya, di berita, di Jawa Timur, di halaman kantor pengadilan, orang sampai menginjak dan terinjak demi kerat daging di plastic hitam itu. Untuk bagian ini aku tak meyimpulkan sesuatu.