10 Desember 2008

Gugusan Punuk di Selatan Jakarta

Mungkin aku yang terlalu mencintai gundukan itu. Julang tinggi, kembar serupa payudara kerap menjadi motivator pada 80Km/jam di pagi hari. Di selatan, bukan di barat-timur, apalagi utara laut. Tentu,pegunungan itu di selatan dan kota ini seperti berbenteng justru dari sisi dalamnya. Mereka duduk anteng melihat dan dilihat dari kejauhan. Penglihatan akan mereka penanda bahwa udara bersih masih bisa hadir di kota ini. Sayat dan corak warna biru berkuning emas menjadi gairah tersendiri ketika hutan beton memang tak berciri seni apapun. Kehadiran Gede-Pangrango di eloknya pagi seperti Godzilla jinak yang tersenyum tanpa ancaman taring.

Aku sendiri, di jok motor. Menanti  hitungan detik merah yang segera hijau. Pada kilas detik itu aku menghentikan waktu. Waktu subjektif tentunya, karena pada jam ini semakin banyak orang sudah sadar dan berlari. Bila kehendak ini kupaksakan pada semua orang, malah jadi lucu. Siapa pula mau peduli pada lukisan pagi hari bila anak belum sampai sekolah, bila koran masih segepok di lengan, juga bila tenggat kantor tidak akan menerima toleransi? Tapi aku peduli bahkan menikmati. Setidaknya detik-detik berharga ini tidak kuanggap kosong dengan bengong menunggu pergantian lampu.

Tiga detik berlalu dan aku masih duduk di atas motorku. Persneling kubuat netral. Lenganku dan jemari bisa istirahat sejenak. Dada kubusungkan dan kaca helm kubuka serupa jendela rumah. Aku tidak begitu peduli dengan gerah jaket serta rompi motor. Bila dua punuk itu sudah tersibak dari awan putih, maka tak sedikitpun waktu kusisakan meski hanya untuk berjejal di sela longgar ruang antar kendaraan. Yang penting posisiku sudah pas untuk menatap dan mengagumi senyuman pagi. Harapan baru. Karena usai merah ini tak akan lagi kudapat pengalaman identik.

Detik ke sepuluh sudah bergulir, masuk ke perpuluhan berikutnya. Aku mejadi teringat kisah-kisah pendakian gunungku. Terutama dua gunung ini. Yang satu lebih tinggi dari yang lain, itu cirinya. Yang satu berkawah berbeda dari tetangganya yang cukup meruncing, standar gambar anak-anak di orde baru. Bisa jadi, jaman itu, ketika knalpot belum merajalela, juga pohon semen tidak setinggi sekarang, anak-anak masih mungkin melihat kakak-beradik ini dari kejauhan ujung-ujung Jakarta. Bisa jadi bahkan sampai dari utara sekalipun. Bukankah peta jaman Belanda VOC dahulu kerap disematkan gunung pada orientasi selatannya? Dan saat itu yang disebut kota adalah wilayah pesisir Jakarta sampai pada kira-kira Istana Negara sekarang. Bila aku hidup di jaman itu tentunya aku akan lebih terkagum-kagum dan menunggu-nunggu pagi. Malahan aku tak akan menyesal bahwa kau lelapku sudah sampai penghabisan waktu dan mesti kembali bekerja. Tentunya dengan sambutan hangat Gede-Pangrango.

Yahhhh, detik terakhir. Penglihatanku dikagetkan oleh gerak turun cahaya dari kotak hitam berdebu itu. Merah berganti sekejap menjadi kuning. Langsung kutarik koplingku, dan hijau. Selamat tinggal. Besok, semoga secerah ini dan lebih indah lagi.

0 comments: