09 Desember 2008

Hari Senin Yang Libur

Tapi hari ini bukan berarti santai. Terutama di lapangan. Ya di tanah lapang. Kebanyakan orang sudah berkumpul di sana. Berbincang, jajan, bercanda, sampai melamun. Sedikit bapak, banyak ibu, perempuan, dan dilengkapi riuh rendah anak-anak.

Semua masuk dan menenggelamkan diri pada penantian. Sedang yang dinanti tengah  digarap oleh sisa himpunan orang menunggu itu. Mereka adalah harapan. Para penjagal suci. Atas kesukaan dan kerelaan. Sungguh orang-orang ini memang menyukai suasana kebersamaan, dan terlebih sifat berbagi , kerelaan, yang bisa mereka aktualisasikan menggenapi senin libur ini. Pahala bukan hanya dibagi untuk para penyumbang, tetapi mereka yang turut andil walau hanya sesayat.

Mata sapi di atas kepala dan beranjak turun selepas adzan. Suasana makin panas. Derap kaki menjadi –jadi. Hati merambat gelisah. Antrian sudah meruncing oleh simpul pertanyaan yang volumenya sudah menohok dagu para penjagal,”Udah selesai belom? Kapan nih Bang!!!????” 

Selokan kampung, saluran air, hingga gorong-gorong kota drastis merah. Bak sepuan yang ditabur sengaja oleh bocah, darah segar itu menghiasi hitam pekat sungai yang setahun sekali berkesempatan berganti warna. Tentunya ini bukan sebuah tulah, mengingat hari ini adalah momen berkah, bagi siapa saja.

Akhirnya, kantung sudah terisi. Plastik hitam telah rata padat termuat. Sedapat mungkin perkiraan subjektif dalam tempo singkat mesti diberdayakan guna mengeksekusi keadilan distributif untuk semua hadirin. Aku memandang, aku melihat dan menyaksikan. Tontonan ini selagi melepas lapar seharian. Di pojok tanah terbuka itu, di depan mesjid berposisi hook, aku mendengar gemuruh hadirin menyambut suara kresek dan feed back mikrofon yang baru ditancap ujung kabelnya ke kubus speaker mesjid. Suara yang lazim dianggap gangguan system suara kini, siang ini, menjadi penanda harapan dan kepastian. Sejurus bapak berpeci dengan kumis wibawa, sepertinya ia adalah korlap laskar jagal siang ini, memberi arahan bagi hadirin terhormat, para hamba Allah. Mereka diharap berbaris rapi, tidak perlu berdesakan, dan tentunya kalimat penyegar,” tenang, semua sudah dibagi agar semua kebagian.” Kalimat itu seperti lontaran verbal di telinga yang langsung terasa teh manis dingin di tenggorokan.   

Maka mulailah kantong-kantong kurban dijejerkan. Semua sekilas sama padat dan besarnya. Gundukan daging segar itu sejenak memenuhi keraguan hadirin akan sama rata-sama rasa pembagian. Barisan sigap bergabung menjadi satu manusia penadah. Manusia gemuk atas kumpulan individu yang siap diintruksikan guna menengadah tangan, alhamdulilah, kemudian melangkah ringan dengan daging dijinijing.

Tapi barisan tidak cukup atas orang yang berkumpul sejak pagi. Semenjak mikrofon itu bergema, puluhan ibu-ibu,perempuan, sesekali bapak dan anak (mengapa lebih banyak para kaum menyusui?) berlari kecil, melangkah panjang, menambah antrian yang kian berserak di luar naungan tenda mini hijau itu. Seraya menunduk mereka sesekali berlari dan menyelingi dengan langkah panjang.

 Lucu. Seolah mereka malu atas langkah terburu mereka. Mungkin mereka sendiri bertanya dalam hati,”Kok saya lari ya, kenapa?” Apakah karena jatah daging? Mereka sendiri sebenarnya juga tahu, sapi  dan kambing segitu tidak akan cukup untuk orang sekampung, apalagi semakin lebih banyak orang yang beraji mumpung. Tapi sorak kejauhan yang terdengar sedari ujung gang membangkitkan riang di dada yang menyulap langkah menjadi begitu ringan dan malu bukan lagi pertimbangan penting.

Dapat atau tidak dapat, yang penting masing-masing dari mereka  sudah memberi kepastian bagi diri akan kemungkinan memperoleh sekerat daging atas pemenuhan prosedur sederhana, antri seharian. Mungkin qurban, bagi mereka yang belum mampu  “berkurban (baca:menyumbang)”,  adalah dengan berperan sebagai sisi sebaliknya, yaitu pihak pasif yang sebenarnya diperlukan proaktif menjemput bola, daging sapi potongan bapak penjagal suci. Ya proaktif menunggu dan antri tertib dengan pengurbanan lelah seharian, penat di kepala dan pegal di kaki. Bisa jadi, siapa yang tahu motif jelas mereka?

Dan senyum dipanen. Tangan-tangan bermuatan sekarang. Lari-lari berubah menjadi langkah santai usai buruan di tangan. Pembicaraan berganti topik, pengalaman mengantri, rebutan sedekah, serta kepuasan hasil perolehan. Manusia-manusia itu kini menjadi diri mereka kembali , sendiri-sendiri, setelah kepentingan mereka terpenuhi. Tak lagi ragu, tak perlu lagi menunggu, jika kerat daging tidak lagi jadi penantian. Pikiran pun berubah pada bayangan bumbu, racikan cabai, bawang, dan kecap, serta tusukan bamboo yang dijereng di atas bara api. Nikmat itu tinggal menunggu waktu eksekusi. Sore ini!

Untuk mereka yang telat pencapaian pastilah pulang dengan hampa. Sehampa darah merah serupa sepuan yang menggerayangi hitam got, selokan, sampai kali. Sedih mereka seperti buangan kertas kupon yang ditanggalkan fungsinya setelah bertukar bungkus iga. Mereka kecewa meskipun mereka sudah tahu bahwa mereka akan menuai itu sejak langkah telat yang dipaksakan dari ujung gang.

Tapi toh kecewa mereka bukan kategori gagal. Ini bukan urusan prestasi, tapi cukup pada keadilan jatah. Pemerataan persisnya. Jatah 300 bungkus berarti untuk 300 orang pertama. Jadinya gagal bukanlah kosa kata tepat untuk hari ini. Lebih dari itu ada hal yang segera menghapus dan menegasikan kesedihan siang ini. Yaitu, qurban pada cakrawala keterbatasan manusia, yaitu berbagi. Boleh saja secara teologis kita maknai kurban sebagai persembahan. Namun bagi mereka yang, sekali lagi, belum mampu “berkurban (baca: menyumbang)”, dan terlebih mereka yang masuk kategori paling minor oleh karena tangan kosong menyambut habisnya gundukan jatah daging, qurban masih menyisakan ruang makna. Secara horizontal, qurban itu menjadi kata kerja simbiosis antara mereka yang berlebih dan yang tak punya. Bahkan di antara sesame tak punya, siang ini qurban menjadi makna bersama antara siapa yang mendapat dan yang tak kebagian.

Boleh dikatakan terik tidak melengkapi kesedihan tangan hampa, tapi menjadi penanda waktu menuju sore. Miringnya matahari semakin menegaskan harapan sore. Kerat daging dijejer. Pisau-pisau gesit memotong. Tangan-tangan cekatan segera memperlakukan daging secara kasar. Menusuk, mengiris, dan memanggangnya. Tapi hati penuh cinta yang mendasarinya. Cinta berbagi di sore ini. Pemupus kecewa siang.

Senin yang libur ini terasa adem juga oleh cinta berbagi, meskipun dibuka dengan pembantaian masal dan gumam gemuruh resah antri penantian. 

Malamnya, di berita, di Jawa Timur, di halaman kantor pengadilan, orang sampai menginjak dan terinjak demi kerat daging di plastic hitam itu. Untuk bagian ini aku tak meyimpulkan sesuatu.

 

 

0 comments: