28 November 2008

Fajar Sore

Baru saja hujan berhenti. Alam seperti lelah dan kalah. Yang tersisa tinggal genangan dan suasana diam, meski untuk sejenak. Mungkin orang-orang kaget akan ketiba-tibaan ini. Yang semula deras kini telas. Pohon-pohon diam. Tak lagi berirama seperti angin kencang satu jam tadi.

Yang muncul adalah fajar sore. Iya fajar sore, dan aku tak main-main. Boleh saja ini senja, namun daya pancarnya seindah dan seharap ufuk subuh. Sore yang menjelang malam ini justru layaknya harapan yang merekah di pagi hari.

Aku langsung bergegas ke selatan. Benar. Gede-Pangrango bersolek ria oleh sepuhan fajar sore. Puncak-puncaknya membumbung dihiasi anting-anting awan. Putih menawan. Aku seperti berada di kakinya. Tak tahan tuk segera menapak.

Sore yang semula guyuran kini masih tetap begitu. Hanya memang materinya yang berubah. Tak apa. Aku senang.

Rintik gerimis itu mengandung anak romantis. Kini ia lahir dan menangis. Tapi bukan air mata, melainkan  cahaya.

Semburat jingga yang memendarkan riang di dada. Siapapun akan dibuat bahagia. Aku percaya.

Menunggu rintik berhenti

Sudah sore dan saatnya pulang

Waktunya berbenah dan menghela napas panjang

 

Semangat terkumpul tak kubuang

Mengingat esok sudah akhir pekan

 

Hujan sudah turun mendahului

Gegap gembira beralih sepi

Gerimis ini harus kuratapi

 

 

27 November 2008

Cerah

Ada yang tidak biasa pada satu hari ini, di bulan ini

Cerah dengan biru langit dan serakan awan ketika pagi

absen mendung ternyata cepat ditangkap oleh mentari

ia tak menyia-nyiakan ruang kosong yang sepi

 

gerimis awet tadi malam rupanya sebuah tangis perpisahan

agak lucu memahaminya

alam yang saling bertolak belakang namun berhubungan

seperti keajaiban

 

26 November 2008

Love just (sometimes) ain't enough!

My dear,

Please tell me:

Whether love is not enough, or man should learn eagerly to definite his own “satisfaction”?

 

Sayangku,

Apakah memang Cinta yang (terkadang) memang tidak cukup,

atau kita sendiri manusia yang memang mesti benar-benar belajar untuk mendefinisikan “puas” bagi diri kita?

 

 

25 November 2008

Pada sandaranku

Siang dan terus benderang

Ku harap tidak hujan

Semoga juga ku tak tertipu mendung awan

 

Ada yang hilang di mega-mega peralihan

Bayang-bayang, kicauan, juga tatapan

Sampai pada kesudahan

 

….

 

Siang ini seperti miskin sengatan

Benderang tadi semakin siratan

Dimangsa terkaman gelap awan

 

Harapku semula tidak hujan

Namun tetes air terlanjur berjatuhan

Sudah, kita tak perlu berlarian

 

Air sudah berserakan

Langkah tak perlu kau tahan

Biarkan basahmu menyatu bersama alam

 

Toh kita berasal dan kembali ke sana

Mengapa mesti kecewa?

24 November 2008

Yang tanggung, yang banci

Jangan perhatikan ke atas. Cukup lihat dalam pandangan horizontal. Karena yang hendak kumaksud ada dalam perspektif ini. Hujan tanggung kusebut. Tanggung karena dari segi kuantitas serta kualitas memang tidak penuh, niat, dan serba hampir. Hampir lebat, hampir lama, hampir berangin hebat sehingga cocok sekali kusebut tanggung. Waktunya singkat, debitnya tidak besar, kualitasnya juga tak menggelegar lazimnya gemuruh kilat. Hanya seember bila dikumpulkan semua titik air yang jatuh di genteng ku.  Itu juga hampir penuh. Makanya kusebut tanggung. Tapi yang tanggung itu biasanya linglung karena ia berada di daerah antara. Daerah batas yang bukannya tidak memihak, namun tidak punya pendirian. Seringkali yang seperti ini yang menyebalkan. Cerah tidak, kuyub jua bukan.

 

Buat mereka di jalan, pasti cukup kesal dibuatnya. Semula dikira lebat, mengingat serangan awal yang menggebu. Namun ditunggu beberapa saat sambil berganti kostum anti air, keadaan berbalik cerah semula. Pengendara motor kerap makan hati. Malunya adalah tatkala seragam lengkap anti air itu masuk dalam zona cerah kering kerontang pada wilayah yang tak dilewati awan hitam.

 

Mungkin tidak masalah, atau malah “ngapain sih yang kaya gini dijadikan puisi atau diskusi?”. Tapi buatku pribadi, hujan yang tanggung mengingatkanku pada sifat kebancian. Bukan benci, tapi banci. Sekali lagi b-a-n-c-i. Tidak ini, tidak itu, tapi mengharap keduanya. Dan sifat itu menyelinap dalam ketidaksadaran kita. Aku berkata ini sebagai sifat, bukan materi hidup seperti kita kenal di perempatan jalan dengan ‘kecrekannya’.

Jadi, hujan ini seperti berkelamin dalam kualitasnya. Lebat deras yang maskulin. Rintik stabil yang feminis. Yang bukan kedua-duanya tapi sekaligus mengharapkan keduanya, ya banci.