24 November 2008

Yang tanggung, yang banci

Jangan perhatikan ke atas. Cukup lihat dalam pandangan horizontal. Karena yang hendak kumaksud ada dalam perspektif ini. Hujan tanggung kusebut. Tanggung karena dari segi kuantitas serta kualitas memang tidak penuh, niat, dan serba hampir. Hampir lebat, hampir lama, hampir berangin hebat sehingga cocok sekali kusebut tanggung. Waktunya singkat, debitnya tidak besar, kualitasnya juga tak menggelegar lazimnya gemuruh kilat. Hanya seember bila dikumpulkan semua titik air yang jatuh di genteng ku.  Itu juga hampir penuh. Makanya kusebut tanggung. Tapi yang tanggung itu biasanya linglung karena ia berada di daerah antara. Daerah batas yang bukannya tidak memihak, namun tidak punya pendirian. Seringkali yang seperti ini yang menyebalkan. Cerah tidak, kuyub jua bukan.

 

Buat mereka di jalan, pasti cukup kesal dibuatnya. Semula dikira lebat, mengingat serangan awal yang menggebu. Namun ditunggu beberapa saat sambil berganti kostum anti air, keadaan berbalik cerah semula. Pengendara motor kerap makan hati. Malunya adalah tatkala seragam lengkap anti air itu masuk dalam zona cerah kering kerontang pada wilayah yang tak dilewati awan hitam.

 

Mungkin tidak masalah, atau malah “ngapain sih yang kaya gini dijadikan puisi atau diskusi?”. Tapi buatku pribadi, hujan yang tanggung mengingatkanku pada sifat kebancian. Bukan benci, tapi banci. Sekali lagi b-a-n-c-i. Tidak ini, tidak itu, tapi mengharap keduanya. Dan sifat itu menyelinap dalam ketidaksadaran kita. Aku berkata ini sebagai sifat, bukan materi hidup seperti kita kenal di perempatan jalan dengan ‘kecrekannya’.

Jadi, hujan ini seperti berkelamin dalam kualitasnya. Lebat deras yang maskulin. Rintik stabil yang feminis. Yang bukan kedua-duanya tapi sekaligus mengharapkan keduanya, ya banci.

 

0 comments: